Delapan puluh tahun Indonesia katanya merdeka, delapan puluh tahun pula Indonesia disebut telah terbebas dari penindasan. Tapi, benarkah semua itu nyata? Ataukah hanya sekadar retorika yang selalu diulang setiap kali perayaan kemerdekaan tiba?
Realitasnya, delapan puluh tahun setelah proklamasi, Papua
masih terbelenggu dalam kesengsaraan. Kesejahteraan yang selama ini
digadang-gadang sebagai capaian bangsa, di tanah ini justru hanya menjadi sekat
pengelompokan: siapa yang diutamakan dan siapa yang dibiarkan.
Papua Selatan adalah cermin yang begitu jelas. Masalah yang
sama terus berulang. Di tengah dunia yang bergerak cepat dengan teknologi
digital, Papua Selatan tetap berjalan di tempat—tanpa percepatan, tanpa perhatian.
Persoalan jaringan internet seakan sudah menjadi “agenda tahunan” yang menghantui masyarakat. Dan
setiap tahun pula, Telkomsel—sebagai
satu-satunya provider di Papua Selatan—hanya
hadir dengan klarifikasi, bukan solusi.
Beberapa waktu lalu, kabel laut yang menghubungkan Sorong,
Timika, hingga Merauke kembali putus. Dampaknya, jaringan internet di 11
kabupaten, termasuk Papua Selatan, lumpuh total. Ini bukan kejadian baru. Dari
tahun ke tahun, sejak 2018, persoalan serupa terus terjadi. Telkomsel berulang
kali memberi keterangan teknis, tetapi perbaikan permanen tak kunjung hadir.
Pertanyaan sederhana pun muncul: di mana negara saat
rakyatnya dibiarkan hidup dalam keterputusan digital, di tengah era ketika
internet sudah menjadi denyut utama peradaban? Bagaimana mungkin pemerintah
bicara tentang “transformasi
digital” dan “rekonstruksi Papua” jika realitas di lapangan hanya
memperlihatkan stagnasi?
Di mana kemerdekaan itu? Di mana letak pemerintah yang
menjanjikan rekonstruksi sebagai grand isu? Hari ini
pemerintah mengajak kita mengibarkan merah putih, namun di Papua Selatan, warna
itu tak lagi jelas. Merah putih hanya simbol di atas kertas, sementara yang
kami lihat justru abu-abu—samar,
kabur, tanpa kepastian.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, tetapi bagi kami, pertanyaannya masih sama: Merah Putihkah kita? Atau sesungguhnya masih abu-abu?
0 comments:
Posting Komentar