Follow Us

Ads

Prinsip OAP dan Pilkada 2024

Ditulis oleh : Gorgorius Sanpai Staf Bawaslu Kabupaten Asmat

Salah satu problem identitas yang dihadapi orang asli Papua (OAP) di tengah arus globalisasi adalah semakin kaburnya batas wilayah dan kategori sosial. Kategori seperti suku, ras, hingga genealogi menjadi sulit dipetakan. Pertanyaan mendasar seperti “siapa yang dapat disebut orang asli Papua, siapa yang bukan, atau bagaimana status mereka yang lahir dan besar di Papua tetapi dari perkawinan campuran” semakin kompleks untuk dijawab. Secara genetis pun, percampuran kian tak terelakkan melalui pernikahan antar suku maupun antar etnis.

Persoalan inilah yang mencuat dalam momentum politik menjelang Pilkada Serentak 2024. Pada 17 September 2024, masyarakat adat bersama tiga anggota Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS) dari suku Marind menggelar aksi protes damai. Mereka menolak hasil verifikasi keaslian orang asli Papua yang dilakukan oleh ketua dan beberapa anggota MRPS, karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip dan kriteria keaslian OAP.

Namun, penolakan ini kemudian memantik reaksi keras. Kerukunan Keluarga Suku Asmat bersama Solidaritas Anak Peranakan Papua mengecam sikap tiga anggota MRPS tersebut. Situasi ini menjadi rentan, sebab jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat berpotensi menimbulkan gesekan antar-suku, bahkan konflik terbuka seperti perang suku di Papua Selatan. Aksi protes tersebut bertepatan dengan penetapan dua pasangan calon gubernur Papua Selatan oleh KPU, yakni Romanus Baraka (nomor urut 3) dan Apolo Safanpo (nomor urut 4).

Di saat bersamaan, dinamika serupa juga terjadi di Papua Barat Daya. Majelis Rakyat Papua Barat Daya melakukan protes damai dan melayangkan surat keberatan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Keberatan itu merujuk pada surat KPU Nomor 1718/PL.02.2-SD/05/2024 tertanggal 26 Agustus 2024 yang ditujukan kepada enam provinsi di tanah Papua. Dalam surat itu, MRP menegaskan bahwa calon kepala daerah dapat dinyatakan tidak memenuhi syarat jika tidak berstatus orang asli Papua. Sementara di sisi lain, KPU provinsi berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-IX/2011, yang memberikan ruang tafsir lebih fleksibel dalam menentukan keaslian OAP.

Menurut hemat penulis, persoalan ini sangatlah krusial. Prinsip OAP bukan hanya soal syarat administratif, tetapi menyentuh ranah identitas, harga diri, dan eksistensi masyarakat adat Papua di tanah leluhurnya. Oleh karena itu, setiap pernyataan maupun keputusan lembaga seperti MRP dan KPU harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, transparansi, dan dialog lintas komunitas. Jika tidak, kebijakan yang tampak sederhana bisa memicu konflik sosial yang jauh lebih besar.

Pilkada 2024 seharusnya menjadi momentum memperkuat demokrasi di tanah Papua, bukan justru memperuncing sekat dan identitas. Prinsip OAP perlu dipahami secara bijak: menjaga hak-hak politik orang asli Papua tanpa menutup ruang bagi harmoni sosial yang terjalin melalui percampuran dan keberagaman. Inilah tantangan besar yang harus dijawab, agar demokrasi Papua tidak hanya prosedural, tetapi juga substansial dan berkeadilan.


Ketidakadilan dan Perasaan Ditindas

Dalam arus globalisasi yang semakin deras, orang asli Papua (OAP) makin menyadari adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha memonopoli hasil bumi Papua demi kepentingan ekonomi dan politik. Sementara itu, masyarakat asli Papua justru sering kali merasa hanya menjadi korban: tanah dan sumber daya alamnya dikuras, sementara mereka sendiri hidup dengan perasaan diperlakukan tidak adil, bahkan ditindas. Kondisi inilah yang membuat perjuangan pengakuan martabat OAP menjadi sangat mendesak.

Dalam konteks Pilkada, ketidakadilan yang dialami OAP dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, kurangnya representasi. Ketika calon yang diusung tidak benar-benar mewakili kepentingan OAP, masyarakat merasa terpinggirkan dalam proses politik. Aspirasi mereka tidak tersalurkan secara memadai.

Kedua, pengaruh eksternal. Tidak jarang calon dari luar Papua, atau bahkan OAP sendiri yang berjejaring dengan kekuatan politik nasional, menggunakan pengaruh dan modal politik besar untuk mendominasi Pilkada, tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal.

Ketiga, diskriminasi. Masih ada praktik diskriminasi berbasis etnis maupun status sosial yang membatasi ruang partisipasi masyarakat adat dalam kontestasi politik.

Keempat, politik uang. Fenomena ini sangat terasa di Papua, di mana pemilih yang rentan secara ekonomi sering dijadikan target. Uang tunai atau imbalan materi dijadikan alat untuk membeli suara, sehingga proses demokrasi kehilangan nilai substansialnya.

Kenyataan-kenyataan di atas menggambarkan tantangan serius yang dihadapi OAP, baik dalam Pilkada 2024 yang baru berlalu maupun di Pilkada berikutnya.


Keterwakilan Orang Asli Papua

Keterwakilan OAP dalam Pilkada bukan hanya soal formalitas politik, melainkan juga tentang penghormatan hak-hak dasar. Kehadiran pemimpin dari kalangan masyarakat adat lokal menjadi sangat penting. Tuntutan MRPS dan MRPB yang menyatakan hanya OAP boleh maju sebagai bakal calon gubernur menunjukkan adanya kesadaran untuk menjaga agar kepemimpinan tidak tercerabut dari akar budaya lokal.

Selain itu, perlindungan hak suara harus menjadi prioritas. Pengawasan ketat diperlukan agar suara OAP dihormati dan tidak ada praktik diskriminasi dalam proses pemilihan. Dengan begitu, keseimbangan antara hak politik, keadilan sosial, dan penghargaan terhadap martabat OAP bisa benar-benar terjaga.


Peran Lembaga Adat

Majelis Rakyat Papua (MRP) hadir sebagai representasi kultural OAP. Di Papua Selatan, lembaga ini diberi mandat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dengan landasan budaya dan adat istiadat. Dalam UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021, pasal 20 menegaskan kewenangan MRP, antara lain memberikan pertimbangan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur, serta menyalurkan aspirasi masyarakat adat, perempuan, dan umat beragama.

Namun, dalam praktiknya, posisi MRP sering berada dalam dilema. Di Papua Selatan dan Papua Barat Daya, misalnya, MRP mempersoalkan hasil verifikasi faktual calon gubernur yang dinilai tidak sesuai dengan amanat otsus. Dualisme pendapat di internal MRP memperlihatkan bahwa lembaga ini tidak hanya menjadi penjaga adat, tetapi juga arena tarik-menarik politik.


Isu Identitas yang Sensitif

Isu keaslian OAP dalam Pilkada menimbulkan dinamika yang rumit. Ada tiga aspek penting yang patut dicatat.

  1. Keterimaan masyarakat – Calon yang dianggap kurang memahami budaya lokal bisa ditolak, meskipun ia berdarah Papua.
  2. Politik identitas – Identitas digunakan sebagai alat politik untuk meraih simpati pemilih. Perdebatan muncul ketika calon dari latar belakang campuran ikut maju.
  3. Persepsi dan stigma – Sebagian masyarakat melihatnya sebagai simbol kemajuan, tetapi sebagian lain justru merasa identitas mereka terancam.

Kuatnya Sistem Sukuisme

Papua masih sangat dipengaruhi sistem sukuisme. Solidaritas berbasis suku memang memberi rasa identitas yang kuat, namun juga menghadirkan tantangan. Dalam politik, sistem ini sering kali menghambat lahirnya visi bersama untuk kemajuan daerah. Alih-alih bersatu membangun Papua, politik justru terjebak dalam rivalitas suku.


Pentingnya Dialog Kultur

Dialog kultur menjadi kunci penting untuk menjembatani politik identitas di Papua. Ada dua dimensi yang perlu diperhatikan:

  1. Nilai tradisional – Keputusan politik sering melibatkan tokoh adat. Dukungan masyarakat pun tidak bisa dilepaskan dari legitimasi adat.
  2. Kearifan lokal – Pemimpin yang dianggap sesuai dengan nilai lokal lebih mudah diterima. Karena itu, dialog tentang calon dan programnya harus menyentuh nilai-nilai ini.

Dialog kultur bukan sekadar formalitas, tetapi wujud penghargaan terhadap masyarakat adat. Calon kepala daerah perlu benar-benar hadir, mendengar, dan memahami aspirasi masyarakat Papua. Proses ini bisa difasilitasi oleh lembaga adat, khususnya MRP, agar berjalan dengan damai dan inklusif.


Penutup

Pilkada 2024 memberi pelajaran penting bahwa demokrasi di Papua tidak bisa dilepaskan dari persoalan identitas, adat, dan keadilan sosial. OAP membutuhkan keterwakilan yang sejati, bukan sekadar simbolis. Mereka berhak atas martabat, suara, dan masa depan yang ditentukan oleh diri mereka sendiri.

Karena itu, penting untuk membangun demokrasi yang bukan hanya prosedural, tetapi juga substansial: demokrasi yang berakar pada kultur lokal, menghargai martabat OAP, dan mengedepankan keadilan. Tanpa itu semua, demokrasi hanya akan menjadi panggung formal yang meninggalkan luka baru bagi orang asli Papua.



About Ilham Laitupa

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 comments:

Posting Komentar