Follow Us

Ads

Apa Kita Masih Manusia di Hadapan Pemerintah?


Ditulis oleh: Azmi Dzulfikar Laitupa

Di negeri ini, pertanyaan yang paling sederhana justru terasa paling menyesakkan: apakah kami masih manusia di hadapan pemerintah? Pertanyaan itu bukan lahir dari ruang kosong, melainkan dari kenyataan yang kian absurd. Di saat rakyat berjuang melunasi cicilan rumah, membayar biaya pendidikan, bahkan sekadar memenuhi kebutuhan harian, wakil rakyat di Senayan dengan tenang menyebut tunjangan rumah Rp50 juta per bulan sebagai sesuatu yang “make sense”. Seakan-akan nalar publik bisa ditundukkan hanya dengan retorika yang lahir dari kursi empuk kekuasaan.

Ironi itu semakin lengkap ketika rakyat juga harus mendengar pernyataan menyesakkan dari Menteri Keuangan. Guru dan dosen, yang seharusnya menjadi tiang peradaban bangsa, justru disebut sebagai beban berat bagi keuangan negara. Bahkan muncul wacana agar masyarakat turut menanggung gaji dan tunjangan guru dengan alasan APBN tidak sehat. Pernyataan semacam ini tidak hanya mencederai akal sehat, tetapi juga menyalahi logika konstitusi. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara, bukan beban yang bisa dialihkan ke pundak masyarakat. Pendidikan adalah hak publik, bukan barang dagangan yang nilai ekonominya semata ditimbang dalam neraca fiskal.

Kontradiksi ini menggoreskan luka batin sosial yang dalam. Kita seperti dipaksa mengamini bahwa yang berjuang mencerdaskan bangsa hanyalah “ongkos”, sementara yang bermewah-mewah dengan dalih representasi politik adalah “hak”. Dalam logika macam apa rakyat harus tunduk? Apakah kemanusiaan kami diukur semata dari kesabaran membayar pajak tanpa pernah dipertanyakan bagaimana uang itu dipakai?

Belum cukup di situ, rakyat juga dihadapkan pada pernyataan absurd lain: tanah dan rumah—ruang paling dasar tempat manusia membangun kehidupan—tetap saja dikenai pajak. Seolah tempat tinggal hanyalah komoditas, bukan hak asasi. Padahal, tanpa rumah, manusia kehilangan identitas sosialnya, kehilangan ruang aman untuk bertahan hidup. Jika rumah saja dianggap objek pungutan, sementara gedung-gedung mewah kekuasaan dibangun dengan dana publik, bukankah itu penghinaan terhadap martabat rakyat kecil yang berpuluh tahun menabung hanya untuk punya sebidang tanah?

Tidak heran, suara-suara kritik bermunculan. Dari kalangan akademisi, pengamat, bahkan tokoh-tokoh publik, muncul kemarahan yang tak lagi bisa dibungkam. Rocky Gerung, misalnya, dengan keras menyatakan bahwa di negara lain, kepala pejabat yang menistakan logika publik seperti ini sudah digulingkan. Boleh jadi pernyataan itu ekstrem, tapi esensi dari kemarahan itu adalah sederhana: rasa keadilan publik sudah lama diinjak-injak.

Pertanyaannya, sampai kapan rakyat harus menanggung ketimpangan yang dibungkus jargon-jargon ekonomi dan politik? Jika benar APBN tidak sehat, bukankah lebih logis memotong anggaran fasilitas DPR ketimbang melempar beban kepada guru dan rakyat kecil? Jika benar rumah adalah hak dasar, mengapa negara justru memperlakukan kepemilikan rumah sebagai ladang pendapatan?

Kenyataan hari ini menyingkap wajah asli relasi kuasa di Indonesia: pemerintah dan DPR hidup di menara gading, rakyat merangkak di bawahnya. Yang berkuasa bicara “rasionalitas anggaran”, rakyat diminta memahami. Yang berkuasa menambah tunjangan, rakyat diminta bersabar. Yang berkuasa menyebut guru sebagai beban, rakyat diminta ikut menutupinya. Dalam seluruh percakapan kebijakan itu, yang hilang justru satu hal: kemanusiaan.

Apakah kami masih manusia di hadapan pemerintah, ataukah sekadar angka dalam laporan pajak dan statistik kemiskinan? Pertanyaan ini seharusnya mengguncang nurani para pengambil kebijakan. Karena manusia bukan sekadar objek ekonomi, melainkan subjek politik yang memiliki martabat. Negara tidak boleh memperlakukan rakyatnya seperti beban, melainkan sebagai tujuan dari seluruh kebijakan.

Jika pemerintah benar-benar ingin mengembalikan kepercayaan publik, langkah pertama bukanlah melempar beban baru kepada rakyat, melainkan menata ulang prioritas anggaran. Guru harus ditempatkan sebagai investasi bangsa, bukan cost center. Rumah harus dipandang sebagai hak dasar, bukan komoditas pajak. Dan DPR, jika benar mewakili rakyat, seharusnya lebih dulu memotong fasilitas mewahnya sebelum bicara tentang kesulitan APBN.

Pada akhirnya, opini ini bukan sekadar kemarahan, melainkan seruan agar pemerintah kembali menempatkan rakyat sebagai manusia, bukan angka. Karena jika negara terus meminggirkan rasa keadilan, rakyat tidak hanya akan berhenti percaya, tetapi juga berhenti diam. Dan ketika suara rakyat bangkit, tidak ada benteng kuasa yang benar-benar kokoh menahannya.

Apakah kami masih manusia di hadapan pemerintah? Jawaban itu ada di tangan mereka yang kini duduk di kursi kekuasaan. Tapi sejarah selalu mengingatkan: kekuasaan yang mengabaikan kemanusiaan, cepat atau lambat, akan kehilangan legitimasinya.

About Ilham Laitupa

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 comments:

Posting Komentar