Follow Us

Ads

Api di Makassar, Negara yang Bertanggung Jawab

Oleh : Azmi Dzulfikar Laitupa

29 Agustus 2025 bukan sekadar catatan kelam di Kota Makassar, melainkan sebuah tonggak yang menguak wajah asli negara. Gedung DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan habis terbakar, empat nyawa melayang dan duka yang dalam tak terhindarkan. Namun Makassar hanyalah satu titik, jika kita menoleh lebih luas, hingga kini tercatat lebih dari delapan korban jiwa di berbagai daerah di Indonesia akibat gelombang aksi yang sama. Pertanyaan pun menggantung keras di udara: di mana letak tanggung jawab negara?

Apakah Menteri Hukum dan HAM sekadar menjadi penonton? Apakah Presiden dan jajarannya cukup hanya dengan mengeluarkan pernyataan belasungkawa tanpa perubahan nyata? Atau apakah kita harus menerima kenyataan pahit bahwa nyawa rakyat di negeri ini begitu murah hingga hanya menjadi angka statistik?

Amarah itu punya hulu yang jelas. Sehari sebelumnya, Jakarta menyaksikan tragedi ketika Affan Kurniawan, seorang driver ojek online, tewas dilindas mobil taktis Brimob. Affan bukan sekadar korban, ia adalah representasi dari rakyat kecil yang dipaksa bungkam dengan cara paling brutal. Berita itu menyebar cepat, menyalakan api solidaritas, dan menjadi pemantik yang melahirkan kobaran di Makassar.

Di titik inilah kita harus jujur: api yang melalap gedung dewan sesungguhnya lahir dari api ketidakadilan yang ditanamkan pemerintah pusat. Arogansi kekuasaan, kebijakan yang abai terhadap rakyat kecil, dan brutalitas aparat hanyalah gejala dari satu masalah: negara gagal menjalankan kontrak sosialnya. J.J. Rousseau menekankan, negara hanya sah jika melindungi hak-hak warganya. Ketika negara justru menjadi ancaman, maka legitimasi itu runtuh. Begitupun dengan Max Weber, ia menyebut legitimasi sebagai syarat mutlak berdirinya sebuah otoritas. Jika rakyat tidak lagi percaya, otoritas berubah menjadi sekadar “kekerasan telanjang”. 

Itulah yang terjadi pada 29 Agustus, rakyat tidak lagi melihat dewan sebagai rumah aspirasi, melainkan simbol pengkhianatan yang pantas dibakar. Maka, dengan ini bukan untuk mewajarkan segala bentuk kebengisan yang terjadi oleh masyarakat, namun ini adalah hukum kausalitas yang terjadi. Dan dengan itu, yang perlu dipertanyakan dan dipermasalahkan adalah siapa yang menanam akar masalah selama ini?

Karena itu, kita harus berhenti menuding peristiwa ini sebagai sekadar vandalisme. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: mengapa rakyat merasa tak lagi punya saluran demokratis selain api? Dan jawabannya ada pada pemerintah pusat. Jakarta boleh jauh secara geografis, tetapi kebijakan sentralistis, represif, dan abai justru lah yang menciptakan bara yang akhirnya menyala di Makassar.

Hari ini, bangsa ini dihadapkan pada pilihan: terus mempertahankan negara dengan wajah bengis, atau segera melakukan reformasi yang nyata. Polri harus direformasi agar tidak menjadi mesin represif, DPR harus dipulihkan fungsinya sebagai pengawas eksekutif, dan pemerintah pusat harus berani membuka ruang dialog sejati dengan rakyat, bukan sekadar demokrasi semu.


Makassar hanyalah gejala. Hulunya ada di Jakarta. Selama pusat kekuasaan tetap abai, tragedi serupa hanya menunggu waktu. Lekas pulih, merah putih. Tapi jangan sekadar pulih, namun pulihlah dengan keadilan.

About Ilham Laitupa

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 comments:

Posting Komentar